Kekhawatiran Pasokan Akibat Sanksi Iran Membawa Harga Minyak Naik



( 2018-09-12 02:00:42 )

Harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan lebih dari 2 persen dipicu oleh sanksi Amerika Serikat (AS) yang menekan ekspor minyak mentah Iran. Serta adanya prediksi jika produksi minyak mentah AS pada tahun 2019 akan tumbuh melambat dan mendorong kekhawatiran soal pasokan.

Melansir laman Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent naik USD 1,69, atau 2,2 persen ke posisi USD 79,06 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik USD 1,71, atau 2,5 persen menjadi USD 69,25 per barel.

Presiden Donald Trump mengatakan akan memberlakukan sanksi terhadap Iran. Ini membuat harga minyak mentah berada dalam premi risiko yang mencerminkan kekurangan pasokan yang mungkin terjadi ketika ekspor dari anggota OPEC terbesar ketiga tersebut terpangkas.

Kenaikan harga juga terjadi setelah data industri dari American Petroleum Institute menunjukkan persediaan minyak mentah AS merosot 8,6 juta barel pekan lalu, dibandingkan perkiraan analis penurunan 805.000 barel. Rencananya, data resmi pemerintah AS baru akan dirilis pada hari Rabu.

"Para pelaku pasar sekarang mengevaluasi perkembangan ini dalam hubungannya dengan potensi penurunan lebih lanjut dalam output minyak dari Iran dan Venezuela, yang menggambarkan gambaran bullish harga yang signifikan," kata Abhishek Kumar, Analis Energi senior di Interfax Energy di London.

AS telah meminta kepada negara-negara sekutunya untuk mengurangi impor minyak Iran. Beberapa pembeli Asia, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan India tampaknya termasuk didalamnya. Tetapi pemerintah AS tidak ingin membuat harga minyak dapat menekan kegiatan ekonomi atau bahkan memicu perlambatan pertumbuhan global.

Menteri Energi AS Rick Perry bertemu Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih pada hari Senin di Washington. Pemerintahan Trump mendorong negara-negara penghasil minyak besar untuk mempertahankan pasokan tinggi. Rencananya Perry akan bertemu dengan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada hari Kamis di Moskow.

Rusia, Amerika Serikat, dan Arab Saudi adalah tiga produsen minyak terbesar dunia. Ketiganya memenuhi sekitar sepertiga dari hampir 100 juta barel per hari (bpd) dari konsumsi minyak mentah harian.

Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan bahwa pada hari Selasa bahwa Rusia dan sekelompok produsen di sekitar Timur Tengah yang mendominasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak dapat menandatangani kesepakatan kerjasama jangka panjang baru pada awal bulan Desember, kantor berita TASS melaporkan. Namun Novak tidak memberikan rinciannya.

Negara OPEC dan non-OPEC telah secara sukarela menahan pasokan sejak bulan Januari 2017 untuk memperketat pasar. Sejak saat itu, harga minyak mentah naik lebih dari 40 persen dan pasar kian ketata secara signifikan sehingga membuat ada tekanan pada produsen untuk meningkatkan output.

Sementara untuk produksi minyak mentah AS diperkirakan akan meningkat 840.000 barel per hari (bpd) menjadi 11,5 juta bph tahun depan. Angka ini lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya untuk kenaikan 1,02 juta bph hingga 11,7 juta bpd, Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mengatakan dalam laporannya.

Di sisi lain, pada hari Senin beberapa orang bersenjata menyerang markas besar Perusahaan Minyak Nasional Libya (NOC) di ibukota Tripoli pada hari Senin. NOC terus berfungsi relatif normal di tengah kekacauan di Libya.

Fasilitas lokasi produksi minyak ini telah dilanda serangan hingga blokade, meskipun tahun lalu produksi telah pulih menjadi sekitar satu juta barel per hari.

Karena pasar Timur Tengah semakin ketat, para pembeli Asia mencari pasokan alternatif, dengan impor minyak mentah AS dan Jepang dari Korea Selatan dan Jepang mencapai rekor penjualan pada bulan September.

Produsen minyak AS mencari pembeli baru untuk minyak mentah yang mereka gunakan untuk dijual ke China sebelum pesanan melambat karena adanya sengketa perdagangan antara Washington dan Beijing.