Harga Minyak Dunia Gagal Menyentuh US$ 70 / Barel



( 2018-03-23 01:59:53 )

Harga minyak dunia terperosok pada perdagangan di hari Kamis seiring kejatuhan pasar saham di Amerika Serikat (AS) dan setelah aksi ambil untung kenaikan harga minyak pekan ini.

Namun penurunan harga tersebut masih tertahan oleh komitmen negara-negara produsen minyak untuk memangkas produksi.

Mengutip Reuters, pada hari Jumat (23.03.2018), harga minyak Brent berjangka turun 56 sen atau 0,8 persen menjadi US$ 68,91 per barel.

Sebelumnya, untuk harga minyak Brent sempat menyentuh level US$ 69,70 per barel atau mendekati harga tertinggi sejak awal Februari.

Sementara pada harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berjangka AS tergelincir 1,3 persen atau 87 sen ke posisi US$ 64,30 per barel.

Harga minyak dunia telah meningkat dalam dua minggu terakhir didorong oleh pelemahan dolar AS, serta ketegangan antara Iran dan Arab Saudi yang memicu kekhawatiran pasokan minyak di Timur Tengah yang sudah dibatasi sesuai perjanjian di OPEC.

Reli harga tak berlanjut. Harga minyak kembali turun mengikuti tekanan di pasar saham AS akibat langkah Presiden AS, Donald Trump menandatangani pengenaan tarif impor terhadap barang-barang China dengan nilai US$ 60 miliar.

"Ketakutan perang dagang dengan China merupakan sentimen penurunan harga minyak hari ini. Karena akan berdampak pada permintaan," kata Analis Energi di CHS Hedging LLC, Anthony Headrick.

Di sisi lain, Energy Information Administration (EIA) AS kemarin mengatakan, persediaan minyak mentah AS turun 2,6 juta barel. Sedangkan ekspektasi dari para analis ada peningkatan 2,6 juta barel.

Hal ini dipicu oleh rendahnya volume impor minyak mentah dan permintaan dari industri kilang yang naik.

Akan tetapi, anjloknya harga minyak dunia ditengarai lebih karena produksi minyak mentah AS yang mencatat rekor 10,4 juta barel per hari pada pekan lalu mendekati Arab Saudi dan Rusia yang mencapai 11 juta barel per hari.

"Kami masih melihat produksi yang meningkat signifikan untuk sampai ke rekor tertinggi," pungkas Presiden dari Ritterbusch and Associates, Jim Ritterbusch.