Kontroversi Isi Perppu Ormas



( 2017-07-13 04:59:12 )

Pemerintah mengambil jalur cepat untuk menertibkan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Jalur cepat itu adalah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
Perppu yang ditekan Presiden Joko Widodo pada Senin, 10 Juli 2017 itu dianggap penyempurna UU 17/2013 tentang Ormas. Sebab, Perppu itu mengatur beberapa ketentuan Ormas yang belum diatur di UU sebelumnya. Pengumuman diterbitkannya Perppu Ormas itu dilaksanakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto di kantornya, Jakarta.
Berikut beberapa perbedaan krusial antara UU Ormas dengan Perppu Ormas :
Bukan hanya komunisme Melalui Perppu tersebut, pemerintah memperluas definisi mengenai ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Salinan Perppu bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebut, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945".
Sebelumnya, dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, definisi atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila terbatas pada "ateisme, komunisme, marxisme dan leninisme".
Pembubaran lebih mudah Perppu Ormas menyederhanakan proses penerapan sanksi administratif kepada ormas yang melakukan pelanggaran.
Pasal 61 ayat (1) Perppu Ormas menyatakan bahwa sanksi administratif yang diberikan berupa peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Artinya, peringatan tertulis tidak lagi diberikan secara bertahap. Pasal tersebut menghapus ketentuan di UU Ormas yang mengatur pembubaran ormas berbadan hukum harus melalui beberapa tahapan, yaitu pemberian sanski administratif berupa tiga kali peringatan tertulis.
Sebelum dihapus, Pasal 64 menyebutkan, jika surat peringatan ketiga tidak digubris, pemerintah bisa menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatan mereka selama enam bulan.
Dengan catatan, jika ormas tersebut berskala nasional, harus ada pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, jika sampai 14 hari tidak ada balasan dari Mahkamah, pemerintah punya wewenang menghentikan sementara kegiatan mereka.
Dalam Pasal 68, jika ormas masih berkegiatan padahal sudah dihentikan sementara, pemerintah bisa mencabut status badan hukum mereka, asal mendapat persetujuan dari pengadilan.
Asas contrario actus Di sisi lain, Perppu Ormas juga mengatur mengenai penerapan asas hukum administrasi contrario actus. Asas tersebut menyatakan, lembaga yang mengeluarkan izin atau yang memberikan pengesahan ormas juga mempunyai wewenang untuk mencabut atau membatalkannya.
Bagian penjelasan Pasal 61 ayat (3) menyebutkan, penjatuhan sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum adalah sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum dilakukan terhadap ormas yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sementara, penjelasan Pasal 59 Ayat (4) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Mendagri dan pencabutan status badan hukum oleh Menkumham sekaligus merupakan upaya pembubaran, sesuai Pasal 80A.
Sanksi pidana Perppu Ormas mengatur sanksi pidana terhadap anggota atau pengurus organisasi kemasyarakatan yang pro-kekerasan dan anti-Pancasila.
Sebelumnya, ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU Ormas. Sanksi yang sama juga bisa diberikan kepada ormas yang melakukan tindakan permusuhan berbau SARA (Suku, agama, ras dan golongan) dan penistaan atau penodaan agama.
Sementara, pada Pasal 82A ayat (2) mengatur mengenai pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.
Sanksi tersebut bisa dijatuhkan terhadap anggota dan/atau pengurus ormas yang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi tersebut juga bisa diberikan kepada anggota ormas yang melakukan kegiatan separatis dan menggunakan atribut organisasi terlarang.
Pro dan kontra Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Buya Syafii Maarif mengapresiasi keberanian pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 itu.
"Memang kita harus berani bertindak ya istilahnya. Memang sudah seharusnya begitu," ujar Buya saat ditemui di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu.
Jika Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas dianggap tidak memadai lagi untuk menghadapi munculnya kelompok ideologi di luar Pancasila, Buya menilai, penerbitan perppu sangat tepat.
Menurut pria yang kini dipercaya menjadi Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) tersebut, pemerintah memang harus hadir dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Pemerintah tidak bisa hanya mengeluarkan imbauan terkait persatuan bangsa.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriani menyayangkan pemerintah mengambil jalan pintas untuk membubarkan ormas yang melenceng dari Pancasila. Ia pun berharap Perppu Ormas dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya agar tidak mengarah ke abuse of power.