Penerapan GWM Averaging BI, Diharapkan Dapat Dongkrak Kemajuan Ekonomi



( 2017-07-04 04:46:21 )

Pertanggal 1 Juli 2017 ini, Bank Indonesia atau BI telah mengesahkan untuk menjalankan sistem Giro Wajib Minimum atau GWM Averaging (rata-rata), yang sebelumnya menerapkan sistem GWM Fix (tetap).

Kebijakan moneter ini dianggap akan semakin membuat likuiditas perbankan meluas, sehingga bank akan makin banyak mengucurkan dananya untuk perekonomian nasional.

Menurut Mirza Adityaswara sebagai Deputi Gubernur Senior BI, sistem GWM Fix ini telah ditinggalkan oleh banyak negara. Mereka beralih ke GWM averaging seperti Indonesia. Jika fix, maka perbankan harus menyimpan dananya setiap hari 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK). “Tapi kalau GWM averaging, secara rata-rata itu 6,5 persen. Tapi BI membagi 5 persennya masih sistem fix, dan 1,5 persen sistem averaging. Pokoknya kalau dirata-rata, dalam dua minggu itu 1,5 persen (dari DPK yang disimpan di BI),” terang Mirza dalam seminar ‘GWM Averaging, Dampaknya terhadap Stabilitas Moneter dan Pertumbuhan Ekonomi’, di Jakarta, yang ditulis pada Selasa (04/07/2017).

Bagi BI, kata Mirza, kebijakan ini akan membuat likuiditas industri perbankan membaik. Karena bank memiliki keleluasaan untuk mengatur DPK-nya. “Soalnya, bank tak setiap hari menyimpan 6,5 persen (dari DPK di BI). Dalam hari tertentu dia bisa maintance 5,75 (persen), sisanya kemana? Bisa dipinjamkan ke bank kecil yang butuh likuiditas, jadi harapannya likuiditas itu bisa masuk ke pasar,” jelas dia.

Dengan kebijakan tersebut, bagi Mirza, manajemen likuiditas perbankan menjadi lebih fleksibel. “Harapannya, pasar uang lebih likuid, dan dananya bisa mengalir di pasar uang itu. Sehingga berdampak ke pertumbuhan ekonomi,” bebernya.

Dia berharap, dengan sistem ini bisa membuat suku bunga terutama suku bunga kredit bisa lebih rendah. Meski hal itu tak otomatis memengaruhi suku bunga kredit. “Saat ini, di sistem ada sekitar Rp400 triliun dana likuiditas jangka pendek milik bank-bank yang kembali ke BI. Walaupun BI tak menginginkan, karena BI sudah kendalikan lewat GWM,” klaim Mirza.

Pada tempat yang sama, Lana Soelistianingsih yang merupakan ahli ekonomi dari UI mengatakan, mestinya kebijakan GWM averaging itu bisa membuat pertumbuhan kredit tinggi, sehingga dengan tingginya uang beredar itu bisa membuat pertumbuhan ekonomi meninggi juga. “Tapi pada akhirnya tergantung perilaku bank itu. Dan tergantung kondisi DPK-nya. Karena banyak DPK, seperti bank BUMN justru menyimpan dana pemerintah. Pemerintah itu kalau butuh dana akan menarik dana dalam jumlah besar. Jika terjadi, akan memengaruhi pengucuran kredit,” tegas Lana.