INDEF Ingatkan Pemerintah Untuk Tidak Ragu Dalam Penerapan Industri Nasional



( 2017-06-08 03:15:24 )

Enny Sri Hartati yang merupakan ahli ekonomi sekaligus Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan, pemerintah seharusnya tidak ragu dalam melaksanakan skema perlindungan terhadap industri nasional dalam bentuk kendala perdagangan baik tarif maupun non tarif. Lantaran tidak bisa lagi kemudian produk produk dari luar negeri leluasa bebas masuk ke Indonesia. Apalagi tanpa mekanisme pengecekan dari sisi kualitas ataupun standar produk.

Enny menilai, prosedur pelaksanaan kendala perdagangan sangat dimungkinkan, walau saat ini hampir semua negara sudah masuk era perdagangan bebas dimana ada begitu banyak kesepakatan untuk menghilangkan kendala perdagangan. Perlu diketahui, Indonesia sendiri termasuk yang paling banyak menandatangani perjanjian Free Trade Aggrement atau FTA, baik secara bilateral maupun multilateral. FTA sebagian besar hanya mengatur kesepakatan mengenai tarif.

Menurut Enny, banyak negara memanfaatkan hambatan Non Tarif Measurement (NTM) untuk melindungi pasar domestiknya. Misal, Amerika Serikat memiliki 4.780 NTM, China 2322 NTM, Brazil punya 2071 NTM, Uni Eropa sebanyak 1845, Canada 1727 NTM, dan Jepang 1294 NTM. “Sementara Indonesia hanya memiliki 272 NTM, bahkan malah bersemangat untuk memperlonggar masuknya barang impor,” jelas Enny dalam keterangannya, pada Rabu (07/06/2017) kemarin.

Berdasarkan kategori NTM, Enny menyatakan, negara-negara yang industri manufakturnya berkembang pesat seperti Jepang dan Malaysia, cenderung lebih banyak menggunakan instrumen Technical Barrier to Trade (TBT). Sementara negara-negara yang unggul pada produk-produk pertanian seperti Australia dan New Zealand, cenderung lebih banyak menggunakan Sanitary and Phytosanitary (SPS).

Dan dari 272 NTM yang dibuat Indonesia, sebagian besar atau sekitar 80 persen adalah jenis Technical Barrier to Trade (113) dan anitary and Phytosanitary (102). Sementara industri dan produk pertanian dalam negeri daya saing masih rendah. Karenanya, Indonesia harus lebih kreatif dan memperbanyak skema-skema NTM yang tepat. Enny memberikan contoh dalam pelaksanaan Permendag 82/2016 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja dan Baja Paduan dan Produk Turunan, menurut Enny merupakan salah satu kebijakan NTM dan cukup positif bagi industri karena dalam Permendag, importir wajib memenuhi beberapa persyaratan.

Diantaranya ketentuan verifikasi oleh surveyor yang dilakukan di negara asal/muat barang sebelum barang dikapalkan ke Indonesia. Laporan Surveyor atau LS harus telah diterima importir sebelum barang tiba di pelabuhan tujuan. Yang artinya, LS adalah salah satu dokumen yang disyaratkan dalam proses customs clearance. “Ketentuan ini tentu bagus untuk melakukan perlindungan industri Besi dan Baja dalam negeri,’ tutur Enny.

Namun, ia juga memberi beberapa catatan, antara lain harus ada kejelasan terhadap jenis produk impor yang dilakukan pengendalian. Pengendalian impor bahan baku seperti gavalum (bahan baku baja ringan), cold rolled coil (CRC) dan hot rolled coil (HRC) justru dapat berpotensi merugikan daya saing industri baja dalam negeri. Pasalnya Krakatau Stell yang mestinya fokus membangun industri hulu (memperbesar produksi CRC dan HRC) terbukti masih lemah dan tidak efisien. Kata Enny, jika pengendalian diterapkan pada bahan baku, maka akan mempanjang rantai proses importasi dan berdampak pada peningkatan biaya bahan baku.

Di sisi lain, Permendag 77/2016 tentang Ketentuan Impor Ban merupakan langkah maju karena disusun untuk mendorong industri nasional karena impor hanya boleh dilakukan oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau pemilik Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang telah mendapatkan ijin dari Menteri. Sehingga, impor yang dilakukan, semata untuk melengkapi proses produksi Ban dalam negeri. “Ini langkah yang tepat, guna semakin mendorong hilirisasi industri karena Indonesia memiliki perkebunan karet yang sangat luas. Juga industri Ban juga sudah cukup berkembang di Indonesia. Hal yang penting, Pemerintah juga harus tetap menjaga agar terjadi persaingan yang sehat, tidak menumbuhkan praktik kartel,” jelas Enny.

Hal lain yang lebih penting adalah pemerintah harus memiliki keberpihakan yang kongkrit. Tidak hanya berorientasi jangka pendek, yang penting terpenuhi kebutuhan dan harga terkendali. Ketahanan industri di dalam negeri juga jauh lebih penting. Karena itu, menurut Enny, pemerintah harus lebih mendengar pelaku industri yang menampung ribuan pekerja dan penyumbang pajak yang besar. Daripada hanya sekadar mendengarkan keluh kesah importir atau trader. “Peningkatan produktivitas nasional membutuhkan produsen-produsen yang tangguh daripada sekadar pedagang atau trader,” tutup Enny.