Fluktuasi Harga Karet Resahkan Petani



( 2017-02-16 04:08:28 )

Fluktuasi harga karet dalam satu bulan terakhir yang sempat mengalami penurunan hingga Rp5.000 per kilogram kini telah meresahkan petani. Meski terjadi kenaikan dalam pekan ini menjadi Rp10.000 per kilogram, namun petani masih khawatir bakal terjadi lagi penurunan harga nantinya.

Menurut petani karet di Kecamatan Pakkat, Humbahas, Sumatera Utara (Sumut) harga wajar untuk karet yang mereka produksi semestinya berada dikisaran Rp15.000 per kilogram hingga Rp18.000 per kilogram. Anjloknya hargga jual getah karet tersebut mengakibatkan petani getah karet mengalami kerugian yang cukup besar.

Selain itu masyarakat juga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pasalnya getah karet merupakan penghasilan utama warga yang tinggal di dataran rendah Humbahas. “Memang terjadi kenaikan hingga Rp 10 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp5 ribu per kilogram. Namun kita masih tetap khawatir. Kita berharap harga ini masih bisa stabil karena sangat mempengaruhi pendapatan kami,” terang salah seorang petani karet, Martuan Simatupang, 45 di Pakkat.

Warga yang tinggal di Desa Ampar tersebut mengatakan bahwa selama ini mereka menjual getah ke Tebing Tinggi melalui para pengepul. Karena itu mereka tidak mengetahui pasti apa penyebab rendahnya nilai tawar untuk getah karet mereka.

Sebab dari segi kualitas, Simatupang menjamin bahwa getah karet mereka masih sesuai dengan pasar yang dibutuhkan masyarakat. “Karena kasus ini juga terjadi di Tapteng. Sehingga kami tidak tau mau jual kemana lagi. Di Tapteng juga harganya sama,” katanya.

Petani karet lainnya, Harlan Sinaga, 35 warga desa Tukka Dolok juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka berharap ada solusi yang diberikan kepada petani agar harga tersebut tidak anjlok. Karena masyarakat tidak memiliki pertanian sampingan seperti masyarakat yang tinggal di Dolok Sanggul.

“Kalau di Dolok Sanggul masyarakatnya masih bisa mengelola sayur-sayuran jika harga kopi anjlok. Sementara kami tidak memiliki alternatif usaha pertanian. Karena untuk areal persawahan kami tidak begitu produktif,” katanya.

Sementara itu pengamat pertanian di Tapanuli, Lambas Hutasoit mengatakan bahwa saat ini petani di daerah kususnya untuk penjualan hasil tanaman kebun tidak bisa lepas dari jasa para tengkulak. Sehingga sering terjadi monopoli yang mengakibatkan masyarakat rugi.

Selain itu, pemerintah kususnya dilintas daerah di Tapanuli belum memiliki solusi ampuh untuk mengatasi keberadaan tengkulak untuk tanaman kebun dataran rendah. Sehingga yang harus dilakukan adalah mematangkan petani untuk memahami pasar penjualan karet.

“Karena kasus ini selalu terjadi untuk tanaman kebun. Dan kita tidak tau alasan yang kuat sehingga harga anjlok. Hal seperti ini juga sering dialami para petani kopi dan petani kakao,” katanya.