Melemahnya Harga Minyak, Karyawan Usaha Penunjang Migas di PHK



( 2017-02-14 09:10:14 )

Industri penunjang hulu migas mengungkapkan sudah merumahkan 10 persen karyawannya karena menurunnya kegiatan operasional hulu migas sebagai imbas dari menurunnya harga minyak dunia.

Langkah pengurangan karyawan tersebut dalam rangka efisiensi yang dilakukan sejak 2015, saat beberapa perusahaan sudah mulai mengurangi kegiatan operasional hulu migas.

Ketua Dewan Pimpinan Bidang Industri Gabungan Usaha Penunjang Energi dan Migas (Guspenmigas) Willem Siahaya menerangkan, rata-rata jam kerja juga berkurang dari yang sebelumnya terbagi dalam tiga shift menjadi satu shift saja. Industri hanya bisa gigit jari setelah terpukul permintaan yang sangat merosot, meski ia tak merinci angka penurunan permintaannya.

"Melemahnya harga minyak ini memang dinilai cukup berat, akibatnya kami harus merumahkan pegawai sekitar 10 persen. Namun tidak semuanya, ada beberapa sumber daya yang kami alihkan untuk melakukan pekerjaan yang lain," tutur Willem di Kementerian Perindustrian, dikutip Selasa (14/2).

Ia mengatakan lebih lanjut, minimnya kegiatan hulu migas menyebabkan perusahaan lebih selektif dalam memilih produk penunjang. Perusahaan migas, sambungnya, lebih senang menggunakan produk dan jasa dari luar negeri impor karena harganya lebih murah dibandingkan yang disediakan oleh perusahaan domestik.

Ia mencontohkan produk China yang harganya bisa bersaing karena praktik dumping dan insentif pengurangan bea ekspor pemerintah China yang sebesar 17 persen. Disisi lain, produk dalam negeri malah cenderung dibebani kewajiban fiskal dengan nilai mencapai 43 persen dari harga jualnya.

Karena itu, ia berharap pemerintah mau melindungi produk dalam negeri dengan melakukan proteksi seperti bea masuk anti dumping yang tinggi.

"Kami sangat keberatan kalau dibilang harga produk kami terlalu mahal, karena kewajiban kami ke pemerintah mencapai 43 persen. Padahal, rata-rata semua produk penunjang migas seperti pipa pengeboran, pipa salur, hingga kompresor sudah bisa kami produksi," terangnya.

Hambatan Ekspor

Rencana untuk melakukan ekspor sempat terbesit. Tetapi, industri terlanjur patah semangat ketika rencana untuk ekspor ke Amerika Serikat (AS) kandas karena ulah industri penunjang migas China.

Ia mengatakan, AS sempat melarang impor produk penunjang migas dari China beberapa tahun lalu. Akhirnya, industri hulu migas China mengirimkan barangnya ke Batam, mengubah dokumen produksi dan pengirimannya, serta mengapalkan kembali produknya ke AS dengan label "made in Indonesia".

Merasa ditipu, pemerintah AS sempat mengirim timnya ke Batam untuk melakukan pemeriksaan terkait hal tersebut. Setelah diverifikasi, pemerintah AS pun ikut melarang impor produk penunjang hulu migas dari Indonesia karena dianggap telah bekerjasama dengan China untuk menyalurkan barang ilegal.

"Bahkan untuk ekspor saja kami dihambat. Kami jadi tak bisa bergerak sendiri, benar-benar butuh bantuan pemerintah," tutur Willem.

Namun demikian, ia masih optimistis permintaan produk penunjang hulu migas domestik akan segera membaik karena harga minyak menunjukkan adanya kenaikan selama setahun terakhir. Meski menurutnya, permintaan tersebut tidak akan terjadi secara instan.

Dari keterangan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) pada bulan lalu bertahan di posisi US$51,88 per barel, atau meningkat sebesar 88,7 persen dibanding pada periode yang sama pada tahun sebelumnya US$27,49 per barel.

"Dengan rebound nya harga minyak, kami kembali merasa yakin. Namun, permintaannya tidak akan terjadi secara instan. Mungkin dibutuhkan waktu tiga sampai empat bulan bagi perusahaan migas untuk dapat kembali mengebor," tutup Willem.

Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas tercatat mencapai sebesar US$12,01 miliar sepanjang tahun lalu. Angka tersebut lebih kecil 24,46 persen dibanding realisasi pada tahun sebelumnya yang sebesar US$15,9 miliar.