Keburukan Tata Pelaksanaan Pertamina Dapat Mengancam Krisis Energi Kian Payah



( 2017-02-10 04:45:02 )

Bapak Mukhtasor selaku Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014, berharap Bapak Presiden Jokowi dapat menyelamatkan BUMN, yang paling utama Pertamina guna menghadapi ancaman krisis energi Tahun 2020 yang semakin memburuk.

Situasi di Indonesia saat ini tidak hanya didera persoalan net-impor minyak, sehingga produksi minyak tidak lagi mampu menjadi tulang punggung pendapatan APBN dan bahkan perekonomian nasional sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia. Lebih dari itu, Indonesia mendapat ancaman krisis energi secara global, bukan hanya sebatas masalah minyak. Neraca energi nasional akan defisit semakin parah pada 2020, sebagaimana hasil studi lembaga-lembaga terpercaya.

Untuk itu, lanjutnya, Pengelolaan BUMN Energi seharusnya sesuai dengan semangat menghadapi ancaman krisis energi. Semua harus bergerak mencegah keadaan yang memungkinkan Pertamina lumpuh. “Mengapa Pertamina bisa Lumpuh, karena selama sebulan atau 30 hari di dalam Pertamina tidak ada Direktur Utama definitif. Waktu sebulan tersebut adalah waktu yang amat berharga dan kritis untuk pengambilan keputusan penting di Pertamina, sebagai BUMN besar yang mengelola cabang produksi dan distribusi migas yang penting dan mengusai hajat hidup seluruh rakyat Indonesia,” kata Mukhtasor dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Jumat (10/02/2017).

Menurutnya, Pertamina saat ini dipimpin oleh Pelaksana Tugas atau Plt. Dalam tata kelola yang baik, secara hukum korporasi yang wajar, Pelaksana Tugas itu terbatas menjalankan manajemen rutin sehari-hari dan tidak membuat Corporate action (atau aksi koporasi) atau corporate decision (keputusan korporasi).

Tindakan korporasi meliputi tindakan yang mewakili perusahaan di luar atau dalam pengadilan, seperti membuat kontrak atau memutus kontrak dengan pihak lain atau mewakili korporasi di pengadilan. Keputusan korporasi dalam hal ini berkaitan dengan tindakan membuat keputusan yang bersifat administratif dan mengikat secara internal perusahaan, misalnya menyusun tata aturan kerja yang baru, mengangkat dan memberhentikan orang pada suatu jabatan atau membuat keputusan atas masalah penting lainnya. “Pak Presiden, Pertamina sebulan ini lumpuh jika tidak ada sedikit pun ruang untuk melaksanakan aksi korporasi ataupun membuat keputusan korporasi,” ucap Mukhtasor.

Untuk selanjutnya, jika Pelaksana Tugas diberi kewenangan menjalankan fungsi kegiatan korporasi dan membuat keputusan korporasi tersebut, berarti para pengemban kewenangan dalam hal ini Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina telah membuat blunder baru dengan membuka ruang tata kelola korporasi yang buruk. Tata kelola yang menempatkan Pelaksana Tugas memiliki kewenangan yang sama persis dengan Direktur Utama definitif adalah produk keputusan yang tidak masuk akal.

“Siapakah yang menjamin bahwa dalam sebulan kedepan tidak diperlukan aksi korporasi atau keputusan korporasi? Siapa yang menjamin tidak ada keputusan mengenai kontrak impor atau perubahan keputusan pembangunan kilang BBM yang semula dimaksudkan memperkuat kemandirian energi nasional? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan di Pengadilan? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan kelangkaan migas yang mengharuskan berurusan dengan kontrak dengan fihak lain? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan berkenaan dengan kebutuhan pemberhentian atau pengangkatan pejabat baru di dalam Pertamina dan lain sebagainya?”, jelasnya.