Harga Minyak Lesu akibat Keperkasaan Dolar AS



( 2017-01-19 07:54:38 )

Harga minyak mengalami pelemahan pada perdagangan Rabu (18/1) waktu Amerika Serikat (AS) ke titik paling rendah dalam pekan ini. Pelemahan ini dipengaruhi oleh penguatan mata uang dolar AS dan meningkatnya produksi AS meski organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) menurunkan tingkat produksinya.

Dikutip dari laman Reuters, nilai tukar dolar AS menguat terhadap beberapa mata uang sebesar 0,6 persen. Hal ini memberi tekanan penjualan minyak yang mempunyai denominasi mata uang tersebut.

Selain itu, Energy Information Administration (EIA) AS memperlihatkan bahwa produksi minyak di lapangan-lapangan utama non-konvensional AS meningkat sebesar 40.759 barel per hari ke angka 4,74 juta barel per hari di bulan Februari yang akan datang. Padahal, produksi minyak non-konvensional AS diprediksi akan mengalami penurunan produksi di bulan yang sama.

Sebelumnya, OPEC memberi sinyal bahwa suplai minyak global akan menurun. Tetapi, laporan bulanan OPEC menunjukkan bahwa produksi AS dapat memantul setelah didorong kenaikan harga minyak, dan menyebabkan pengeboran minyak non-konvensional semakin bertambah.

Sebagai informasi, OPEC, di luar Indonesia, memproduksi minyak sebesar 33,08 juta barel per hari atau menurun sebesar 221 ribu barel per hari dibanding pada bulan November. Menurut laporan OPEC, penurunan terbesar berasal dari Arab Saudi.

OPEC, Rusia, dan negara non-OPEC lainnya telah sepakat untuk memangkas produksi minyak sebesar 1,8 juta barel per hari dalam enam bulan mendatang untuk menyesuaikan suplai dengan permintannya.

Akibatnya, harga minyak Brent mengalami penurunan sebesar US$1,55 per barel ke angka US$53,92 per barel. Sementara untuk minyak West Texas Intermediate (WTI) menurun sebesar US$1,4 per barel ke angka US$51,08 per barel.

Harga minyak kembali membaik usai sesi perdagangan berakhir, setelah American Petroleum Institute (API) melaporkan bahwa persediaan minyak berkurang sebesar 5,04 juta barel pada pekan lalu. Angka tersebut lebih besar dari perkiraan analis yang sebesar 342 ribu barel.