Kementerian Perdagangan Buka Keran Impor Raw Sugar



( 2017-01-17 06:53:18 )

Menyusul impor gula mentah untuk industri makanan dan minuman, Kementerian Perdagangan membuka keran impor raw sugar untuk diolah menjadi gula kristal putih yang ditujukan kepada pasar konsumsi.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan konsumsi gula nasional berkisar 3,2 juta—3,5 juta ton per tahun. Sementara itu, produksi gula tebu tahun lalu hanya sekitar 2,1 juta ton. Dengan demikian, terjadi selisih setidaknya 1,1 juta ton.

Oleh karena itu, pemerintah memutuskan mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) yang dikonsumsi masyarakat secara langsung.

Untuk tahap pertama 400.000 ton. Nanti kami lihat perkembangannya, ujar dia seusai menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman kemitraan antara produsen dan distributor gula, Senin (16/1).

Jika produksi gula tebu pada 2017 mengalami kenaikan, maka pemerintah akan menyesuaikan. Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan pun telah memberikan izin impor gula mentah 1,5 juta ton untuk industri makanan dan minuman (mamin).

Enggar menyatakan gula adalah salah satu komoditas yang paling sensitif, baik di sisi harga maupun pasokan. Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini penugasan impor langsung diberikan ke pabrik pengolah gula dan bukan BUMN.

Penugasan langsung ini diharapkan lebih efektif karena perusahaan pelat merah yang sebelumnya ditugasi tidak memiliki pabrik. Sehingga, proses importasi, pengolahan, dan distribusi menjadi panjang. Brasil, Australia, dan Thailand disebut sebagai negara asal impor.

Tercatat terdapat 8 perusahaan, dari 11 perusahaan, yang kemarin menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan sejumlah distributor. Mendag menuturkan distributor yang ikut berpartisipasi menguasai 70% jaringan distribusi gula nasional, tapi tidak menyebutkan berapa tepatnya distributor yang ikut serta.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menerangkan produsen dibebaskan untuk bermitra dengan distributor manapun. Pokoknya ujungnya mereka sepakat harganya Rp12.500 per kilogram, tegas dia.

Kemendag juga kembali menetapkan harga acuan gula di konsumen sebesar Rp12.500 per kilogram, meski sebenarnya kebijakan ini telah dimulai pada November 2016. Harga tersebut berlaku hingga Desember 2017 serta ditetapkan untuk seluruh Indonesia, kecuali di daerah-daerah perbatasan.

Harga bisa ditekan karena jenjang distribusinya yang dipotong. Makanya sekarang impor langsung saja, jelas Enggar. Dia menambahkan akan bertemu dengan produsen gula tebu dalam waktu dekat.

Kemendag mengklaim bakal menekan potensi kebocoran gula di pasar, termasuk dengan mencabut Angka Pengenal Importir (API) pengusaha nakal. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turut dilibatkan untuk memantau implementasi harga acuan Rp12.500 per kilogram.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M. Nur Khabsyin menolak impor raw sugar untuk konsumsi karena stok hasil penggilingan tebu tahun lalu masih melimpah. Menurut dia, produksi gula tebu pada 2016 mencapai 2,25 juta ton dan hingga kini masih ada pasokan 800.000 ton.

Di luar itu, stok sisa impor tahun lalu pun masih ada sekitar 775.000 ton. Jadi, total stok masih ada 1,5 juta ton. Ngapain impor lagi? ujar Nur Khabsyin.

Berdasarkan perhitungan APTRI, kebutuhan gula konsumsi yang realistis berkisar 2,7 juta—2,8 juta ton. Angka tersebut jauh di bawah perhitungan pemerintah.

Dia juga menolak harga acuan Rp12.500 per kilogram karena keuntungan yang diperoleh petani tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan. Idealnya, Harga Produksi Petani (HPP) tahun ini adalah Rp11.000-Rp11.500 per kilogram karena biaya produksi sudah mencapai Rp10.000 per kilogram.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gula Indonesia melonjak cukup tinggi pada 2016. Tahun lalu, realisasi impor gula dan kembang gula meroket 57,93% secara year-on-year menjadi US$2,36 miliar dari posisi 2015 yang senilai US$1,49 miliar.