IMF Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Asean



( 2017-01-17 06:09:58 )

IMF merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini untuk kawasan Asean termasuk Indonesia. Berbeda dengan Bank Dunia yang memperkirakan pertumbuhan Ekonomi akan positif.

Investasi swasta menjadi catatan penting bagi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia dalam proyeksi perekonomian Indonesia tahun ini.

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) Januari 2017, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan mencapai 4,9%. Perkiraan itu turun dari laporan WEO Oktober 2016, di mana pada tahun ini pertumbuhan ekonomi kawasan Asean 5 diproyeksikan tumbuh 5,1%.

Revisi turun ini disumbang oleh Indonesia yang diperkirakan investasi swastanya akan tumbuh lebih rendah dari proyeksi awal dan Thailand yang berpotensi mengalami pelambatan dari sisi konsumsi dan pariwisata, tulis IMF dalam laporannya, Senin (16/1/2017).

Sementara itu, secara umum proyeksi pertumbuhan ekonomi global tidak mengalami perubahan dari WEO Oktober 2016 di mana produk domestik bruto (PDB) pada 2017 diperkirakan tumbuh 3,4% dan berlanjut menjadi 3,6% pada 2018.

Revisi naik terkait pertumbuhan ekonomi terjadi di China, AS, Uni Eropa dan Jepang. Kami melihat, ekonomi dunia akan mendapat kecepatan baru tumbuh dalam jangka pendek. Tahun 2017 menjadi momentum pertumbuhan itu. Namun, di sisi lain ketidakpastian justru akan meningkat mulai tahun ini, kata Obtsfed.

Obstfeld menambahkan, proyesi lebih kuat dan lebih akurat diperkirakan akan muncul dalam WEO April 2017. Pasalnya, para pelaku pasar dan IMF telah mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari rencana kebijakan ekonomi AS di bawah Donald Trump.

Apabila AS konsisten dengan kebijakan stimulus fiskal yang dijanjikan Trump pada masa kampanye. Maka prospek pertumbuhan ekonomi negara berkembang berpotensi kembali mendapat tekanan ke bawah.

Proyeksi dari IMF ini berbanding terbalik dengan proyeksi yang diterbitkan oleh Bank Dunia, terutama terkait proyeksi PDB Indonesia.

Dalam laporan Global Economic Prospect (GEP) Januari 2017, Naiknya investasi sektor swasta dan menguatnya kembali harga komoditas, diproyeksikan akan membuat sejumlah negara berkembang di Asia Tenggara, salah satunya Indonesia, mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat pada 2017 dibandingkan tahun lalu.

Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan mencapai 5,3% dan berlanjut menjadi 5,5% secara berturut-turut pada 2018 dan 2019.

Menanggapi proyeksi dua lembaga tersebut, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo mengatakan perkembangan ekonomi global masih menunggu rencana kebijakan Presiden Terpilih Amerika Serikat Donald Trump yang rencananya akan dilantik pada 20 Januari 2017 waktu setempat.

Aksi proteksionis yang digaungkan Trump pada kampanyenya bisa membatasi laju ekspor Indonesia ke AS. Namun, secara umum kinerja ekonomi AS membaik di semester kedua diiringi dengan adanya kepastian kenaikan Fed Fund Rate yang diperkirakan sebanyak dua kali pada tahun ini.

Agus berharap pada tahun ini 2017 peran dalam pertumbuhan ekonomi tidak hanya dari konsumsi dalam negeri dan dari pemerintah, melainkan juga investasi swasta. "Pertumbuhan ekonomi 2017 seperti yang kami sampaikan di antara 5%-5,4%.

Sementara itu, laju ekspor nasional sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi– mencatat kinerja yang tidak begitu kinclong.

Laporan BPS menyebutkan, secara kumulatif, ekspor sepanjang Januari-Desember 2016 mencapai US$144,43 miliar atau turun 3,95% dibandingkan dengan 2015. Adapun, impor turun 4,94% dibandingkan dengan 2015 menjadi US$135,65 miliar. Penurunan harga komoditas terutama energi di semester pertama tahun lalu memengaruhi koreksi nilai ekspor.

Surplus neraca perdagangan 2016 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dengan pencapaian senilai US$8,78 miliar, sedangkan pada 2015 senilai US$7,67 miliar.

Surplus neraca perdagangan 2016 memang tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan pencapaian senilai US$8,78 miliar. Namun, penurunan nilai ekspor ini sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir, setelah pada 2011 sempat menembus di atas US$200 miliar.

Menurut Agus, aksi proteksionis yang digaungkan Trump pada kampanyenya akan semakin membatasi laju ekspor Indonesia ke AS. Ke depan, kinerja ekspor Indonesia sangat bergantung pada diversifi kasi produk dan pasar yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah terbesar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan perlunya pencarian komoditas lain untuk menggerakkan ekspor makin meningkat. Dia menilai sektor pertanian memiliki peluang besar untuk diolah di industri sehingga menciptakan nilai tambah.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi menilai kerja sama yang ada antara Indonesia dan negara-negara mitra dagang belum dimaksimalkan dengan baik. Pemerintah harus lebih proaktif sehingga dapat meningkatkan penetrasi pasar.