Menkeu Rilis Aturan Untuk Tangkal Praktik Penghindaran Pajak



( 2017-01-10 07:18:37 )

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati ‎mewajibkan kepada perusahaan di dalam negeri yang menjadi bagian dari grup usaha di luar negeri untuk menyampaikan laporan per negara ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Langkah ini dilakukan dalam rangka mencegah penghindaran pajak dengan skema transfer pricing.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tata Cara Pengelolaannya. Aturan ini sudah diberlakukakn sejak 30 Desember 2016.

"Jadi nanti ada kewajiban bagi Wajib Pajak dengan skala besar itu untuk menyiapkan country by country report (CBCR) atau laporan per negara, selain dokumen induk dan dokumen lokal," ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP, John Hutagaol di Jakarta, Selasa (10/1/2017).

Penyampaian laporan per negara wajib dilakukan bagi Wajib Pajak atau perusahaan dalam negeri yang memiliki kedudukan sebagai anggota grup usaha dan entigas induk dari grup usaha yang merupakan subjek pajak luar negeri.

Laporan per negara di PMK itu harus mencakup beberapa informasi. Pertama, alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per negara atau yurisdiksi dari semua anggota grup usaha baik yang berada di dalam maupun luar negeri.

Hal ini meliputi nama negara, peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah dibayar sendiri, ‎PPh terutang, modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta berwujud, selain kas dan setara kas.

"Penggunaan informasi ini hanya dalam rangka penilaian risiko penghindaran pajak," bunyi beleid PMK Pasal 10 ayat (6).

Informasi kedua di laporan per negara terkait daftar anggota grup usaha dan kegiatan usaha utama per negara atau yurisdiksi. "Laporan ini wajib disiapkan lalu diserahkan jika sewaktu-waktu diperlukan oleh DJP," tutur John.

Wajib Pajak atau perusahaan dari grup usaha yang mempunyai peredaran bruto Rp 11 triliun wajib menyelenggarakan dan menyimpan dokumen penentuan harga transfer, seperti dokumen induk, dokumen lokal, dan laporan per negara.

"‎Minimal sebesar Rp 11 triliun ke atas. Pertimbangan itu mengikuti hasil rekomendasi Base Erotion and Profit Shifting (BEPS)," papar John.

Intinya, John menandaskan, perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia mesti ‎transparan dan terbuka bahwa transaksi antar grup mereka benar-benar mencerminkan nilai wajar.

"Di Indonesia banyak perusahaan multinasional, mereka wajib untuk mempersiapkan dokumen tersebut. Jadi saat adanya pemeriksaan, Wajib Pajak atau perusahaan bisa membuktikan dan menjelaskan ke DJP bahwa transaksi antar grupnya masih dalam batas yang wajar. Kita juga nanti bisa lihat pajak yang dia bayarkan sudah sesuai dengan yang seharusnya atau belum," terang John.