Efisienkan Perbankan, BI Tidak Dapat Hadirkan Suku Bunga Single Digit



( 2016-12-30 06:15:30 )

Instrumen moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) selama ini transmisinya berjalan lambat. Kendati sudah sering mengurangkan suku bunga acuan, faktanya tak bisa menciptakan suku bunga single digit.

Untuk itu, di saat BI tak mampu dengan instrumennya, perbankan diminta untuk menjalankan proses bisnis yang lebih efisien. “Jadi dalam rangka mewujudkan suku bunga kredit single digit, maka saat ini tak bisa lagu berharap pada instrumen moneter,” cetus Ekonom Institute for Development of Economic and Finance-INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta pada Kamis (29/12/2016).

Menurutnya, selama ini yang bisa dilakukan oleh BI cuma melalui instrumen BI 7 Day Repo Rate. Tapi ke depan, potensi suku bunga acuan BI itu bisa saja dipertahankan atau dinaikkan dalam rangka menjaga nilai tukar dari faktor eksternal khususnya mengantisipasi potensi kenaikan Tje Fed fund rate. “Oleh karena itu, cara yang perlu ditempuh adalah menciptakan bisnis perbankan yang lebih efisien, salah satunya melalui konsolidasi perbankan,” ucapnya.

Menurutnya, pelonggaran kebijakan moneter dari BI sudah tidak bisa lagi jadi harapan pada tahun depan. Satu-satunya cara untuk mencapai bunga single digit tak lain adalah efisiensi bank dengan konsolidasi perbankan. “Ketika instrumen moneter tak bisa diharapkan pada 2017, bagaimana turunkan suku bunga kredit? Satu-satunya dorong konsolidasi perbankan dan lebih efisien,” tuturnya.

Sejauh ini, kata dia, perbankan sulit sekali menurunkan suku bunga kredit. Sejak Januari sampai November 2016 ini, BI gunakan instrumen moneter dengan menurunkan suku bunga cukup agresif. “Tapi rata-rata kredit hanya turun 67 bps, deposito 131 bps, efeknya lebih ke bunga deposito daripada bunga kredit,” kata Bhima.

Lebih jauh dia menegaskan, jika dilihat dari kondisi perbankan nasional yang sangat gemuk dianggap telah menghambat upaya penciptaan suku nunga single digit. Saat ini Indonesia memiliki terlalu banyak bank. Jumlahnya sudah mencapai ratusan. Berbanding jauh dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. “Indonesia memiliki 118 bank, Thailand ada 31, Malaysia ada 27, lebih ekstrem lagi Singapura punya tiga bank tapi asetnya paling jumbo di ASEAN,” jelas Bhima.

Selain itu, dari sisi kinerja perbankan yang belum efisien terlihat dari marjin yang dihasilkan dari bunga bersih (NIM) yang masih berada di atas 5,5 persen dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) juga tinggi. “Perbankan masih sangat tidak efisien, masih sangat gemuk, NIM-nya masih di atas 5,5 persen, dan 5,65 persen berdasarkan data OJK. Apalagi BOPO sendiri masih di atas 81 persen,” ucap Bhima mengakhiri.