Antara Jokowi, Muslim Indonesia dan Kecerobohan Ahok



( 2016-12-05 06:26:35 )

Keberadaan Presiden Jokowi dalam Aksi Bela Islam III di Silang Monas, Jumat (02/12) lalu merupakan kejutan yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Sebab sebelumnya Presiden tidak berkenan bertemu dengan demonstran anti-penistaan agama yang dilakukan satu bulan lalu, tepatnya pada 04 November di depan Istana Negara.

“Jokowi memandang Islam di Indonesia dan Keindonesiaan sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” terang Direktur Pusaka Trisakti Fahmi Habsee di Jakarta, Senin (05/12).

Dalam penilaiannya, Presiden memandang bahwa Islam di Indonesia tidak sekedar sebagai agama mayoritas tapi juga Civilization (peradaban) yang mempengaruhi jalan sejarah dan budaya bangsa. Islam telah berakulturasi dalam proses budaya bangsa. “Tentu konstruksi berpikir beliau memandang kerja keras dalam memajukan bangsa dalam segala bidang saat ini untuk kepentingan bangsa, berhasil atau tidaknya akan dirasakan paling utama oleh umat Islam selaku ‘pemegang saham mayoritas’ republik,” kata Fahmi.

Ditekankan pula selaku pemegang saham mayoritas, diharapkan akan dirasakan manfaatnya oleh umat beragama lain dengan hidup berdampingan didalamnya. Jika bangsa ini makmur sejahtera, ekonomi menggeliat, daya beli meningkat, jaminan kesehatan dan pendidikan berjalan, maka umat Islam di Indonesia yang merasakan efeknya. “Sebaliknya bila bangsa ini hancur dan gagal maka umat Islam yang paling dirugikan,” jelas Fahmi Habsee.

Ditambahkan, pekikan ‘Allahuakbar’ Presiden berkaca pada Bung Tomo saat menggelorakan perang dengan pekikan ‘Allahu akbar’ berulang-ulang. Bung Tomo ingin membebaskan bangsa ini dari penjajahan Belanda ratusan tahun pada hakekatnya juga membebaskan dan membela mayoritas umat Islam menuju kesejahteraan yang lebih baik. Berikut keteladanan Nabi Muhammad dalam bernegara. Walaupun Islam mayoritas tetapi tetap menjamin dan perlindungan untuk agama-agama yang lain dan tentu sebagai Presiden wajib mengikuti apa yang juga disepakati founding fathers kita ketika menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan menjalankan UUD 1945.

Ia juga memandang pernyataan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), seperti halnya pernyataan Presiden, tujuan dan hakekat adalah sama yakni untuk menjaga dan memajukan NKRI dengan rasa yang berbeda,” lanjutnya. Lalu, bagaimana penilaian Fahmi Habsee mengenai kasus yang menjerat Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaj Purnama alias Ahok ? “Saya pikir kecerobohan Ahok dalam berbagai video dia yang membahas agama baik tentang ‘Surga-Neraka’ dalam konsepsi Kristen di dalam rapat di Kantor Gubernur ataupun Surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu itu menjadi resiko pribadinya. Tidak ada satupun dibumi pertiwi yang bisa menjaga mulutnya Ahok,” ucapnya.

Apa yang dilakukan Ahok, menurutnya bukan cerminan sikap politik Jokowi ataupun PDI Perjuangan selaku pengusungnya yang mengedepankan nilai-nilai penghormatan agama-agama. Apalagi digeneralisir dan dipolitisir isu SARA sebagai sikap dan pemahaman yang sama saudara-saudara kita yang etnis Tionghoa. “Not fair. Kalau bahasa anak gaul ke Ahok itu ‘IDL’, Itukan Derita Lo,” tutup Fahmi.