Kekhawatiran Menanti Hasil Rapat Para Juragan Minyak



( 2016-11-30 07:28:24 )

Perekonomian dunia kembali menanti kekhawatiran pada pekan ini. Pemangku kebijakan sampai korporasi tengah sibuk menanti hasil dari pertemuan antar negara-negara pengekspor minyak Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang akan diselenggarakan di Wina, Austria pada Rabu (30/11) pekan ini.

Bahkan, harga minyak dunia ikut berfluktuasi jelang pertemuan tersebut. Dua indeks utama minyak dunia, Brent dan West Texas Intermediates (WTI) bergerak di kisaran level US$43 per barel sampai US$53 per barel dalam dua bulan terakhir. Tetapi, siapa sangka kalau semua itu berawal dari obrolan antar anggota OPEC di sela-sela konferensi antar menteri energi di Algiers, Aljazair.

Semua dibuat kaget dengan langkah kartel para pengusaha minyak dunia tersebut untuk memangkas produksinya dari saat ini sebesar 33,8 juta barel per hari (bph) menjadi 32,5 juta hingga 33 juta bph. Kesepakatan tersebut rencananya akan diketuk secara mufakat di Wina, pada hari ini.

Secara persentase, pemangkasan produksi hanya sebesar 2 persen. Akan tetapi yang lebih mencengangkan, aksi ini merupakan yang pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir industri minyak dan gas bumi (migas) dunia.

OPEC mungkin jengah dengan harga minyak yang tak kunjung pulih. Bayangkan saja, harga minyak yang semula menembus level hampir US$110 per barel langsung amblas ke angka US$20 per barel dalam waktu kurang dari dua tahun. Tentu saja, hal ini berdampak kepada pundi-pundi negara anggota OPEC yang menggantungkan asa dari penjualan emas hitam.

Arab Saudi, contohnya. Negara kerajaan ini diperkirakan mengalami defisit anggaran negara sebesar US$118 miliar mengingat 80 persen penerimaannya berasal dari sektor migas. Setali tiga uang, Venezuela juga harus rela memangkas anggaran belanjanya karena minyak mengambil porsi 96 persen dari ekspor dan 40 persen penerimaan negara.

Namun, bagaimana bisa kecemasan segelintir negara tersebut membuat gaduh perekonomian seluruh dunia?

Dengan beranggotakan sebanyak 14 negara, OPEC sendiri tercatat menguasai 43 persen produksi dan 73 persen cadangan minyak dunia. Arab Saudi dikatakan sebagai aktor utama di kartel ini dengan produksi minyak mencapai 10 juta barel per hari, atau hampir mencapai 30 persen dari seluruh produksi negara-negara anggota OPEC lainnya.

Indonesia sendiri juga dikatakan sebagai anak bawang pada organisasi yang dibentuk tahun 1960 tersebut. Sempat membekukan keanggotaan pada tahun 2009, kemudian Indonesia bergabung kembali pada tahun 2016 setelah sempat minder karena merasa tidak lagi menjadi eksportir melainkan hanya importir aktif.

Meskipun demikian, sangat aneh jika melihat keikutsertaan Indonesia dalam organisasi pengekspor minyak ini. Jangankan untuk ekspor, memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri sendiri saja masih sulit. Namun, pemerintah memastikan keanggotaan OPEC saat ini adalah untuk mencari persediaan minyak dengan "harga teman".

Perlu diketahui, kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia sebesar 1,5 juta bph, sedangkan untuk produksinya hanya 830 ribu bph. Dengan demikian, Indonesia justru mengimpor minyak demi memenuhi kebutuhannya.

Mungkin atas dasar itulah pemerintah tidak ingin ambil pusing dengan pertemuan OPEC. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, sebaiknya Indonesia ambil kursi "wait and see" saja dengan keputusan negara-negara anggota lain yang produksinya terbilang besar.

Mungkin ia sadar, kalau produksi minyak Indonesia yang hanya 2,5 persen dari produksi OPEC tidak cukup untuk memberikan daya tawar yang menonjol. Sehingga, ia pun enggan mendiskusikan dampak yang terjadi dari pemangkasan produksi ini terhadap perekonomian Indonesia.

"Kita tunggu saja," ujar Darmin secara singkat, kemarin.

Bersamaan dengan itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja menerangkan, produksi minyak Indonesia akan terus menurun tanpa disuruh.

Hal tersebut dapat terlihat dari target minyak yang siap jual (lifting) tahun depan yang hanya sebesar 815 ribu bph dari target tahun ini yang sebesar 820 ribu bph. Mungkin, pemerintah sadar pemangkasan produksi tersebut tidak akan memberi pengaruh yang signifikan jika terdapat sinyal setuju dari Austria.

Namun, satu hal yang mesti dicermati terkait dengan pemangkasan produksi OPEC yaitu kemungkinan naiknya harga minyak dunia. Kondisi ini bisa berdampak positif, namun bisa juga berubah menjadi bumerang bagi dompet negara.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengungkapkan, harga minyak merupakan variabel utama penentu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas. Jika harga minyak bergerak positif, maka PNBP migas dapat menjulang.

Ia mengatakan, PNBP migas 10 tahun yang lalu mampu menyentuh angka Rp 200 triliun dengan harga minyak yang berada di kisaran US$100 per barel. Sayangnya, kesenangan menikmati PNBP migas harus pupus karena harga minyak jatuh pada kisaran US$40 per barel dan membuat PNBP migas tahun ini hanya sebesar Rp68,8 triliun.

Tetapi, harga minyak bukan satu-satunya obat di dalam meningkatkan PNBP. Upaya lain yaitu dengan menaikkan lifting minyak, sehingga hasilnya dapat terasa signifikan. Sayang, ia juga mengeluhkan kondisi saat ini, dimana cadangan migas yang signifikan di dalam negeri belum dapat ditemukan lagi.

Oleh karena itu, tidak heran jika pemerintah menghentikan asa dari PNBP migas di masa depan dan lebih mengutamakan pajak sebagai generator penerimaan negara. Jika dulu PNBP migas bisa berkontribusi sebesar 30 persen dari pendapatan, mungkin dalam jangka pendek kontribusinya hanya 10 hingga 15 persen saja.

"Jika cadangan yang baru tidak segera ditemukan, kami memperkirakan kontribusi PNBP migas tidak bisa signifikan lagi,” tutur Askolani.

Di sisi lain, meningkatnya harga minyak juga dapat menciptakan harga BBM yang melonjak. Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang mengungkapkan, harga minyak memang sangat mempengaruhi terhadap harga bahan bakar. Namun menurutnya, masyarakat tidak perlu menghidupkan mode panik yang berkepanjangan.

Ia menerangkan, harga minyak tidak mungkin memantul kembali ke kisaran US$100 per barel dan diprediksi hanya mampu bertahan di level US$60 per barel saja. Pasalnya, persediaan minyak dunia masih cukup melimpah, apalagi produksi shale oil di Amerika Serikat yang tidak menandakan adanya pelambatan. Sehingga, masyarakat tidak perlu cemas harga BBM langsung meroket.

"Kalau harga tinggi, shale oil produksi lagi. Harga mungkin akan jatuh kembali setelah itu," jelas pria yang kerap disapa Abe.

Produksi minyak Indonesia memang tidak signifikan. Stok yang besar pun belum terlihat di pelupuk mata. Jika pemangkasan produksi minyak jadi diterapkan, toh produksi minyak Indonesia memang tengah tidak menunjukkan adanya perbaikan. Kecuali, memang anggaran negara dan roda perekonomian Indonesia ditopang oleh komoditas yang berasal dari pelapukan hewan zaman purbakala tersebut.

Jika pemangkasan produksi tidak jadi diterapkan, tentu saja keadaan akan sama seperti saat ini. Sehingga, apapun keputusan OPEC nantinya, seharusnya tidak perlu diikuti kekhawatiran atau kegembiraan di dalam negeri.

Karena mungkin, tidak etis juga bagi Indonesia kalau mesti ikut-ikutan pusaran OPEC dan drama di sekitarnya. Silahkan saja negara-negara anggota OPEC lainnya kebakaran jenggot, selama hal tersebut tidak mengganggu Indonesia dalam mencapai misinya, yaitu mendapatkan persediaan minyak dengan harga murah.