Ekonomi Dunia Melambat



( 2016-11-29 06:36:36 )

Sejak krisis pada tahun 2008, ekonomi global tidak tumbuh secepat yang diharapkan. Masalahnya bukan pada kebijakan suku bunga rendah seperti yang dilakukan negara-negara maju. Perlambatan ekonomi yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh faktor alamiah dan diprediksi akan terus melambat dalam beberapa tahun mendatang.

Chief Economist DBS Group Research, David Carbon menilai bahwa melambatnya ekonomi saat ini terjadi bersamaan dengan perubahan demografi di negara-negara maju. Pertumbuhan populasi di sana melambat, terutama penduduk usia kerja dalam satu dekade terakhir. Situasi ini diprediksi akan terus terjadi dalam 2 sampai 3 dekade mendatang.

Di Jepang misalnya, saat ini pertumbuhan penduduknya sudah negatif sebesar 0,2% per tahun dan angkatan kerjanya menurun sampai minus 1% per tahun. Demikian pula pertumbuhan angkatan kerja di Amerika Serikat (AS). Saat ini tingkat pertumbuhannya hanya sebesar 0,4% per tahun, padahal mendekati runtuhnya Lehman Brothers pada tahun 2008 masih dapat tumbuh sebesar 0,8% dan 1,2 % pada lima tahun sebelumnya.

Pertumbuhan penduduk yang lambat dan masyarakat yang semakin tua menyebabkan beban penduduk usia kerja meningkat. Hal ini yang menyebabkan rasio pendapatan yang dihasilkan untuk menopang penduduk menjadi tidak produktif semakin tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang dipakai untuk konsumsi serta mendorong pertumbuhan ekonomi diprediksi terus berkurang.

Apakah hal tersebut mengkhawatirkan? David Carbon menyarankan agar investor terbiasa dengan keadaan seperti ini. Perlambatan ekonomi tidak sepenuhnya "buruk". Ia mengutip Narayana Rao Kocherlakota, mantan Presiden Federal Reserve of Minneapolis, bahwa yang sangat penting untuk diperhatikan adalah seberapa besar perubahan ouput per orang, bukan output secara agregat. "Artinya investor perlu melihat jenis PDB yang didorong dari pertumbuhan produktivitas," katanya dalam laporan berjudul "Global Growth: Redefining Strength."

Kalau dilihat dari sisi ini, tingkat produktivitas di negara-negara maju sama sekali tidak menunjukkan adanya perlambatan. Memang kita tidak melihat adanya perubahan struktural sejak krisis tahun 2008, bahkan sejak pada periode sebelumnya terhadap pertumbuhan produktivitas.

Contohnya tingkat produktivitas di Jepang rata-rata sebanyak 1,6% per tahun sejak 2011. Angka tersebut tidak jauh dari rata-rata yang sebesar 1,8% sejak 1980, bahkan lebih baik dari rata-rata sejak 1990 sebesar yaitu sebesar 1,2%. Hal yang sama juga terjadi di AS, Jerman, dan Perancis. Meski PDB-nya melambat, tapi output per orang tidak mengalami perubahan.

"Perlambatan ekonomi di negara-negara ini sepenuhnya diakibatkan oleh faktor demografi, yaitu pertumbuhan angkatan kerja yang rendah. Bukan akibat pertumbuhan produktivitas yang melemah," ujar Carbon.

Keadaan ini berbeda dengan negara-negara berkembang, terutama di Asia yang dari sisi demografi diuntungkan dengan struktur penduduk usia muda. Menurut Carbon, persoalan negara-negara ini bukanlah pada faktor demografi, namun turunnya tingkat produktivitas.

Produktivitas tidak hanya digerakkan oleh pembangunan infrastruktur saja, namun juga kualitas sistem legal, manajemen, serta sumber daya manusia untuk menghasilkan teknologi terbaru. "Terdapat tiga faktor kunci penggerak produktivitas, yaitu pendidikan, pendidikan, dan pendidikan," tuturnya.

Akan tetapi, negara-negara berkembang tidak memulai pada titik yang sama dengan negara maju. Oleh sebab itu, cara paling mudah bagi negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan adalah dengan mengimpornya dari negara maju atas teknologi yang diproduksi 10, 20, atau 30 tahun lalu. Produktivitas pun akan meningkat dan pendapatan per kapita menjadi naik.

Permasalahannya, teknologi mesti diperbarui dan di sisi lain tingkat upah juga sudah tinggi. Hal inilah yang membuat teknologi semakin mahal, sehingga produktivitas pun menurun. "Pertumbuhan produktivitas dan upah suatu negara akan semakin lambat bersamaan dengan tingkat pendapatan, pendidikan, dan teknologi yang semakin mendekati negara-negara maju."

Perkembangan ini bukan merupakan hal yang baru. Pernah terjadi di Jepang pada era 1950-an dan 1960-an. Ketika pendapatan dan kapasitas teknologinya meningkat, pertumbuhan produktivitasnya disalip oleh Singapura dan Hong Kong. Dari sini lalu ke Korea dan Taiwan, lalu ke Malaysia, Thailand, Tiongkok dan seterusnya.

Memang sejatinya tidak ada yang menginginkan pertumbuhan PDB menjadi lambat. Tapi perlu diingat hal ini disebabkan adanya kenaikan pendapatan penduduk. Tentunya ini merupakan tujuan pertumbuhan ekonomi, bukan pertumbuhan itu sendiri. Dalam situasi ini, sebagaimana terjadi di Asia, maka pertumbuhan ekonomi yang lambat merupakan sesuatu yang baik, tidak buruk seperti yang dikhawatirkan.