Hillary Menangkan Mayoritas Suara Namun Kalah Dalam Pilpres



( 2016-11-17 06:58:21 )

Saat Hillary Clinton mengakui kekalahannya dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) 2016 dan ia menyampaikan supaya perempuan tidak 'kehilangan harapan', di luar sana setidaknya terdapat 62 juta pendukungnya yang terkejut, sedih, dan mungkin juga marah.

Hillary yang diharapkan dapat mencatat sejarah sebagai presiden perempuan pertama AS sebenarnya dipilih oleh mayoritas rakyat Negeri Paman Sam. Hal ini dapat dilihat melalui hasil penghitungan mayoritas suara rakyat (popular vote) yang per 15 November menunjukkan ia telah meraih 62.318.079 juta suara sementara rivalnya, Donald Trump memperoleh 61.166.063 suara.

Meski penghitungan suara masih belum sepenuhnya selesai, tetapi hasil sementara tersebut sudah menunjukkan selisih yang cukup jauh, yaitu lebih dari 1 juta suara. Atau secara persentasi, Hillary memimpin Trump, yaitu 47,8 versus 46,9 persen.

Akan tetapi, AS bukan penganut sistem pemilu langsung sehingga capres yang memenangkan popular votes belum tentu bisa menjadi presiden terpilih. Sebab sejatinya, penentu kemenangan pilpres AS adalah electoral college, lembaga konstitusional yang memilih presiden dan wakil presiden.

Anggota dari electoral college adalah perwakilan dari setiap negara bagian AS.

Jumlah anggota electoral college ini juga berbeda-beda pada setiap negara bagian tergantung dari jumlah populasi. Dan yang terjadi dalam pilpres AS 2016 adalah Trump berhasil mengunci kemenangan di sejumlah swing state seperti Florida, North Carolina, dan Michigan serta sejumlah negara bagian lainnya yang memiliki electoral votes tinggi.

Tidak hanya itu, ia juga berhasil mengubah 'blue state' basis Demokrat menjadi 'red state' basis Republik, seperti Pennsylvania dan Wisconsin.

Mengutip dari laman The New York Times, per 16 November, Trump yang tercatat sejarah sebagai presiden terpilih pertama AS yang tidak mempunyai latar belakang politisi maupun militer berhasil mengumpulkan 290 electoral votes sementara Hillary hanya mampu meraih 232 electoral votes.

Jumlah yang didapat Trump tersebut melampau yang dibutuhkan untuk menang, yaitu 270. Walaupun demikian ini belumlah diumumkan sebagai hasil resmi karena electoral college baru akan melakukan pemilihan presiden dan cawapres pada Desember yang akan datang.

Dan ternyata pilpres pada 8 November bukanlah pertama kali seorang capres yang sudah memenangkan popular votes, namun kalah secara keseluruhan. Setidaknya terdapat lima capres yang mengalami nasib sama dengan Hillary.

5 capres yang memenangkan mayoritas suara rakyat

Mengutip dari Independent.co.uk, sistem pemilu AS yang berlaku sekarang ini telah dimulai sejak Perang Saudara (Civil War).

Pada tahun 1824, Andrew Jackson yang mencalonkan diri dari Partai Demokrat berhasil memenangkan popular votes, tetapi pada electoral votes yang diterimanya kurang dari setengah yang dibutuhkan. Jackson pun terpaksa menelan pil pahit, dengan kalah dari John Quincy Adams.

Beberapa dekade kemudian tepatnya pada tahun 1876, capres Samuel Tilden dari Partai Demokrat mengalami kekalahan cukup mencengangkan dari rivalnya, Rutherford B Hayes dengan selisih electoral votes hanya satu suara.

Grover Cleveland yang maju dalam pilpres 1888 dari Partai Demokrat unggul dalam popular votes, namun di lain sisi ia hanya mampu mendapat 168 electoral votes. Sementara pesaingnya, Benjamin Harrison mengantongi 233 electoral votes.

Kemudian pada tahun 2000. Capres asal Demokrat lainnya, Al Gore juga terpaksa menerima kenyataan yang sama dengan para pendahulunya. Ia dipilih oleh mayoritas suara rakyat, namun berhasil dikalahkan George W. Bush dengan perolehan electoral votes 271 versus 255.

Dan yang terbaru, Hillary. Yang didampingi oleh sang suami, Presiden Bill Clinton dan cawapresnya, Tim Kaine, Hillary terpaksa harus mengakui kemenangan Trump. Meluncur permintaan maaf dari bibirnya karena belum mampu memenuhi harapan para pendukungnya, menjadi presiden perempuan pertama di Negeri Paman Sam.

"Kekalahan ini terasa menyakitkan. Tapi tolong jangan pernah berhenti untuk percaya bahwa kebenaran sangat layak untuk diperjuangkan. Dan untuk semua perempuan yang memberikan keyakinan mereka dalam kampanye dan diri saya… saya ingin kalian semua tahu bahwa tidak ada yang lebih membanggakan bagi saya selain menjadi pemenang bagi kalian," ucapnya.

Beberapa pendukung Hillary yang tidak terima kemenangan Trump mencoba membuat skenario yang disebut mustahil, yaitu meyakinkan electoral college untuk menyingkirkan sosok kontroversial itu dalam pemilihan yang akan dilaksanakan pada Desember mendatang. Dianggap mustahil karena Trump mempunyai margin yang besar di electoral college dan sebagian besar pemilih merupakan partisan.

Di luar kehebohan menang atau kalah, Hillary mencatat sejarah lain. Sebagai capres ia menduduki peringkat ketiga setelah Barack Obama dalam jumlah popular vote. Posisi pertama diduduki oleh Obama dalam pilpres 2008, yaitu sebesar 69.456.897. Presiden kulit hitam pertama AS itu pun bertengger di posisi kedua dengan perolehan 65.446.032 dalam pilpres 2012.

Sementara untuk posisi keempat dimiliki oleh George W. Bush dengan perolehan sebesar 62.039.073 dalam pilpres 2004. Trump sendiri berada pada posisi kelima dengan capaian 61.166.063.

Tidak hanya Hillary, Trump pun mengukir sejarahnya tersendiri. Ia berada pada titik puncak bahkan melebihi George W. Bush sebagai capres asal Partai Republik terpopuler dalam sejarah pilpres AS.

Berkenaan dengan fenomena menang popular votes, namun kalah dalam electoral votes ini, muncul gagasan untuk menghapus lembaga electoral college. Ide ini diungkapkan oleh Senator asal Partai Demokrat dari California, Barbara Boxer.

Ia menuturkan telah mengajukan undang-undang untuk menghapus lembaga electoral college.

"Ini merupakan satu-satunya badan di mana Anda bisa mendapatkan lebih banyak suara namun masih kalah dalam pilpres," tutur Boxer dikutip dari Heavy.com.

"Sudah waktunya untuk menghapus 'sistem usang' yang dianggap tidak demokratis dan tidak mewakili masyarakat modern kita," tambahnya.