Menaruh Harapan pada Tax Amnesty



( 2016-09-13 10:19:14 )

Pemerintah sangat yakin program amnesti pajak (tax amnesty) yang diberlakukan mulai 18 Juli lalu akan berhasil. Program tersebut menjadi ujung tombak pendapatan negara di tengah merosotnya penerimaan pajak, terutama dalam menjaga agar defisit anggaran tidak melebihi batas 3 persen. Disamping itu, aliran dana repatriasi berpotensi menggerakkan perekonomian nasional.

Wajib pajak dipertimbangkan akan menyambut program ini sebab akan diberikan sejumlah insentif berupa penghapusan pajak terutang sampai sanksi administrasi dan pidana. Terlebih tarif tebusan yang ditawarkan lebih rendah daripada tarif pajak. Jika semakin cepat wajib pajak melaporkan asetnya, maka tarif tebusannya akan semakin rendah.

Pengenaan tarif tebusan tersebut terbagi dalam tiga periode. Bagi wajib pajak yang melakukan deklarasi di dalam negeri atau merepatriasi dana dari luar negeri akan mendapat tarif tebusan sebesar 2 persen bila melakukannya selama periode I (1 Juli-30 September 2016). Tetapi jika melakukannya pada periode II (1 Oktober -31 Desember 2016) dan periode III (1 Januari-31 Maret 2017), maka tarifnya masing-masing sebesar 3 persen dan 5 persen. Lalu setelah dilaporkan, aset tersebut harus ditempatkan di Indonesia selama tiga tahun.

Namun jika wajib pajak hanya melakukan deklarasi dan tetap menyimpan dananya di luar negeri, maka tarif tebusannya akan lebih mahal. Jumlahnya dua kali tarif deklarasi di dalam negeri, yang masing-masing sebesar 4 persen, 6 persen, dan 10 persen untuk setiap periode pelaporan.

Keyakinan pemerintah ini sangat jelas. Menurut perhitungan pemerintah, dana sebesar Rp 1.000 triliun atau setara dengan US$ 75 miliar dapat direpatriasi dalam sembilan bulan ke depan. Disamping itu akan ada tambahan pendapatan pajak sebesar Rp 165 triliun atau US$ 12,5miliar. Jika bisa tercapai, defisit anggaran pemerintah akan dapat bertahan di bawah 3 persen dari PDB.

Pasar finansial pun menanggapi positif adanya pengumuman amnesti pajak. Salah satu indikasinya adalah terus jatuhnya imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia. DBS Group Research mencatat, dari awal 2016 rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah turun sampai 170 bps. faktor eksternal dari rendahnya suku bunga di dunia dan ekspektasi pasar tentang kemungkinan penurunan suku bunga Bank Indonesia menjadikan obligasi pemerintah sangat menarik. Tetapi, para pelaku pasar tampaknya "buy into" optimisme pemerintah ini.

Bagaimana tidak, jumlah Rp 1.000 triliun itu setara dengan 150 persen dari jumlah investasi investor asing di obligasi pemerintah. Namun pada waktu yang bersamaan, timbul kekhawatiran asumsi pemerintah yang terlalu yakin akan menemui hambatan. Pertama, estimasi nilai aset yang belum dilaporkan sangat bervariasi. Kedua, seandainya jumlah sebenarnya sama dengan estimasi pemerintah, sebagian pasar ragu bahwa jumlah dana yang akan direpatriasi bisa mencapai estimasi pemerintah.

Hal ini dikarenakan Rp1.000 triliun itu sama dengan 70 persen dari total cadangan devisa Indonesia, atau sama dengan 60 persen dari jumlah outstanding obligasi pemerintah sekarang ini. Bukan tidak mungkin kalau estimasi ini berlebihan. Perlu diingat juga bahwa wajib pajak akan menghitung besaran insentif dari dana yang ditempatkannya selama tiga tahun.

Sembilan bulan ke depan akan menjadi periode penting bagi ekonomi Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Harapan yang besar memang berada pada program amnesti pajak, mengingat penerimaan pajak tahun ini yang diprediksi lebih rendah dibanding pada 2015 dan 2014.