Uji Konsistensi Ahok, Kepantasan Menjadi Pemimpin Diragukan



( 2016-09-06 03:29:11 )

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berkeinginan untuk tidak mengambil cuti saat kampanye dijegal. Tak tanggung-tanggung perlawanan tersebut diungkapkan langsung unsur legislatif dan eksekutif pemerintah pusat pada sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pilkada yang diajukan Ahok ke Mahkamah Konstitusi, kemarin Senin (05/09).

Ada hal yang menarik dalam persidangan ini adalah Ahok dihadapkan langsung dengan fakta berupa kritikannya yang justru pernah memojokkan agar Fauzi Bowo alias Foke untuk cuti dalam Pilkada DKI 2012 pada empat tahun yang lalu. Hal tersebut pun disampaikan langsung Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianti yang ditugasi langsung sebagai perwakilan Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.

"Yang diucapkan pemohon (Ahok) pada tanggal 06 Juni 2012, saat hendak mencalonkan diri sebagai Cawagub DKI, bukan soal takut, kalau tidak cuti tidak masalah. Hanya saja kami mau Jakarta sebagai contoh penegakan semua UU. Kalau sampai Gubernur DKI (Fauzi Bowo) tidak mengambil cuti, nanti seluruh daerah akan mencari cara-cara seperti ini," tutur Sigit mengikuti pernyataan Ahok lewat kutipan salah satu berita di tengah persidangan.

Karena itu juga Sigit tak sungkan mengemukakan langsung mengenai kesangsiannya akan konsistensi dari seorang Ahok. Dia mengatakan bagaimana pun juga tindakan dan ucapan seorang Kepala Daerah adalah gambaran atas konsistensi sosok seorang negarawan. "Hal itu pun menjadi salah satu pertimbangan masyarakat untuk menilai apakah yang bersangkutan dapat dijadikan panutan atau tidak," jelas Sigit.

Dalam kesempatan itu pun rombongan DPR RI yang saat itu diwakili anggota Komisi III Sufmi Dasco Dahlan Ahmad dan Arteria Dahlan pun membantah keras uji materi Undang-Undang Pilkada yang diajukan Ahok ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Di depan panel Majelis Konstitusi, Dasco menuturkan lima kesimpulan setelah mendengar dan mempelajari berkas pemohonan ke MK. Yang pertama, DPR menilai Ahok tidak memiliki kekuatan hukum atau legal standing, sehingga permohonan untuk Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada tidak dapat diterima. “Yang Kedua menerangkan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima," katanya dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (05/09).

Ketiga DPR berharap majelis hakim untuk menerima masukan dari anggota dewan. Di mana petahana diharuskan cuti selama masa kampanye seperti diatur dalam Undang-Undang Pilkada. "Empat menyatakan Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Lima menyatakan pasal 70 ayat 3 tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat," pungkas politisi dari Partai Gerindra itu.

Ahok pun menolak dinilai inkonsisten seperti yang disampaikan Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Widodo Sigit Pudjianti yang ditunjuk langsung sebagai perwakilan Presiden dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pilkada di MK. Dia menilai bahwa sangat berbeda situasi masa kampanye di Pilkada DKI 2012 lalu dengan saat ini.

Dengan alasan cuti kampanye Pilkada DKI yang akan dihelat pada Februari 2017 mendatang terlalu lama Ahok berinisiatif mengajukan uji materi Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). "Saya hanya memprotes cutinya itu tidak masuk akal sampai hampir empat bulan. Itu yang tidak masuk akal. Karena dulu kampanyenya hanya dua minggu," kata Ahok.

Menurut Ahok, pada Pilkada 2012, calon petahana dapat mengambil cuti sambil beraktivitas seperti biasanya. Kondisi itulah yang pada saat itu dinilainya membuat petahana berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya. "Kalau Sabtu Minggu dianggap enggak cuti, hari libur dianggap enggak cuti, kampanye malam enggak cuti. Itu yang saya bilang, kenapa itu enggak dikasih cuti," jelas mantan Bupati Belitung Timur itu.